Kamis, 10 November 2011

Menembus Mendung, Menantang Awan

Nenek bersepeda. Berapa kilometer beliau lewati. Saya yang naik motor saja sudah kebat kebit kepanasan belahan pantatnya. Nenek masih bersepeda. Padahal langit penuh mendung. Gerimis sudah mulai membayang. Nenek terus mengayuh mantap menantang awan.


Saya mendahului nenek untuk mengambil sudut pandang yang baik. Namun apa ya pantas, orang bersepeda kerja keras malah dijadikan bahan tulisan. Saya jawab sendiri pertanyaan itu, kalau bukan saya yang mengabarkan, siapa lagi? Saya harus mengumandangkan gambar nenek ini kepada para pencinta sepeda yang sukanya mengelus elus sepeda jutaan rupiah mereka. "Ini lho, sepeda tua setua pengendaranya. Ini lho kesetiaan yang kata kalian mencintai lingkungan. Ini lho, sepeda yang berarti sebagai sepeda."



Saya mengira masih banyak sepeda tua yang masih berguna sebagai alat transportasi (ramah lingkungan) sementara di sekitar saya sepeda cuma buat pajangan. Dipajang di dada berbadge pencinta lingkungan. (Saya juga diceramahi orang begini: lha kowe kok ora numpak pit wae? Lalu saya jawab: aku ora isa numpak pit. Lha ngapa? Jawab saya: silitku lara. Pengen? Orang itu diam.)
Selamat bersepeda, bagi yang mampu merasakannya.

Sent from Yahoo! Mail on Android

Tidak ada komentar:

Posting Komentar