Selasa, 30 Agustus 2011

Awal Syawal

Salam Jumpa. Saya senang bisa bercerita lagi. Ini kali saya ceritakan perjalanan saya di hari Selasa, tanggal 1 Syawal 1432. Ritual bersama keluarga. Ini hari sangat khusus. Semua berkumpul, kecuali satu, istri saya. Semua mulai bersalaman meminta maaf dan memberi maaf. Semua takluk pada perasaan. Sayapun demikian. Tidak tahu mengapa, tapi keharuan itu langsung menyeruak saat ibu memeluk dan terisak. Entah apa yang ada di pikiran beliau tapi sayapun katut terharu biru. Menangis mencoba menyadari empati beliau kepada saya yang saat itu sendirian.

Adik-adik membawa muka mereka menghadap lantai. Saya selesaikan dengan Ibu, berpindah kepada Bapak dengan masih membawa sedu sedannya. Labil. Sentuhan sedikit saja akan membangkitkan gelombang dahsyat. Gelombang kerinduan yang tak mungkin orang lain bisa rasakan. Saya mencoba mengkonversinya menjadi energi yang akan semakin menambah kekuatan hidup saya. Saya putuskan untuk berangkat ke Salatiga hari itu.


Saya memakai sepeda motor kawasaki ZX pinjaman dari kakaknya Thomas, teman Shvoong saya. Motor yang sangat nyaman kecuali rantainya yang bergerincing. Saya coba menikung dan menelusup dengan cepat di antara truk tangki premium. Cukup bagus. Maka saya lanjutkan perjalanan dengan cepat menuju Salatiga. Sayang sekali angin bertiup sangat kencang. Cover Gitar yang saya sandang di punggung sampai copot salah satu tali strepnya. Saya coba berhenti dan membetulkan sebisanya di tengah jalan lebar yang baru saja diperbaiki. Jalan antara Kartosuro Boyolali yang dulu hanya muat dua kendaraan berat sekarang enam kendaraan saling bersilangan pun terasa nyaman sekali. Namun anginnya yang kencang itu yang akhirnya mencabut tali strep cover gitar saya. Selesai memperbaiki semampunya, saya lajukan lagi menaiki tanjakan kecil yang panjang itu menuju Boyolali.


Tidak mampir ke Soto Seger Mbok Giyem? Masih tutup dan begitulah, maka yang beruntung adalah Soto Sedap di sebelah utaranya. Mobil dan kendaraan lain yang parkir memenuhi pinggiran jalan. Pengunjung antri tempat duduk.



Saya lewatkan saja antrian itu langsung melaju ke luar kota. Angin semakin keras. Deras sekali menghajar kendaraan saya. Saya kehilangan kendali. Tali Strep lepas lagi. Saya harus minggir lagi. Mencari toko yang masih buka, membeli korek gas, dan menyalakan sebatang rokok untuk mengusir penat dan ngantuk sembari menata ulang bawaan. Gitar saya taruh di depan, saya kempit dengan paha. Lanjutkan!
Benar-benar angin yang menggoda. Ngantuk semakin mendera. Saya coba kibas-kibaskan kepala setiap mata mulai terkatup. Saya selalu mencoba berada di luar rombongan manapun, khawatir lepas kontrol dan kebablasan. Saya nyanyikan yang lebih mirip teriakan supaya kesadaran tetap terjaga. Sudah hampir sampai di tujuan pertama. Terminal Tingkir sudah kelihatan. Membelok di perempatan, kemudian menuju jalan berkelok di pedesaan tempat tinggal Om dan Tante. Benar-benar mengantuk. Di belokan setelah tanjakan saya coba rebahkan motor untuk menikung. Aduh! Eits... Saya kaget sendiri. Ternyata tikungan itu berpasir. Saya terpeleset di roda depan. Tidak sampai jatuh dan segera saya angkat tegakkan kendaraan sambil masih berjalan. Untung di depan saya tidak ada kendaraan lain yang terlalu dekat. Saya bisa stabilkan kembali kendaraan gendut itu. Dan hilanglah kantuk saya, sementara....


Iya! Sementara saja kantuk itu hilang. Sesaat sesampainya di rumah Om, saya langsung masuk dan tergeletak tidur. Satu jam saya ngorok....
Read more...